INTERAKSI MAHASISWA ASING & LOKAL (Diterbitkan di Majalah Buset, edisi Agustus 2009)
‘Ngembek di kandang kambing, ngaum di kandang macan.’ Gimana kalau ngembek di kandang macan? Ya, kalau kambing berani ngembek di kandang macan ya mati!’ Begitulah komentar anak penulis sendiri waktu dia masih di kelas 6! Ini kaitannya dengan situasi mahasiswa internasional di kampus-kampus di Australia. Artinya dalam laporan Overseas Students Association Universitas Adelaide 2005 dan laporan gabungan Universitas Melbourne dan Monash 2004 yang menyimpulkan bahwa interaksi antara kedua kelompok rendah sekali! Prof Simon Marginson dari Universitas Melbourne mengatakan bahwa interaksi antara mahasiswa asing atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama mahasiswa internasional dan lokal cukup ‘mengkuatirkan’ tapi tidak ‘berbahaya’; worrying but not alarmed!
Ada tiga pihak yg berperan dalam interaksi antara mahasiswa internasional dan lokal. Pihak pertama adalah, universitas; kedua adalah mahasiswa internasional dan pihak ke-tigamahasiswa lokal. Pihak unuiversitas menyediakan sarana untuk interaksi tapi pertanyaannya adalah apakah cukup hanya menyediakan sarana? Apakah ada usaha-usaha lain yang harus dilakukan pihak universitas?
Tiga (3) pihak yang pertama yang bermain dan berperan langsung dalam kancah interaksi di kampus sedangkan pihak ke 4 yaitu media punya kepentingan tersendiri yang bertitiktolak dari ‘uang’; objektivitas tidak menjadi tujuan utama tetapi juga bukan tidak penting! Seperti media dimanapun di dunia, selalu membesar-besarkan berita, padahal persoalannya tidak sebesar itu! Tapi jangan disalahkan media karena memang ‘begitulah media’ mencoba melaporkan suatu kejadian secepat mungkin dan keobjektifitasnya’ merupakan faktor kedua! ………..Teori kultivasi yang mempercayai bahwa apa yang disuguhkan media, khususnya televisi, mengajari sesuatu kepada penonton, baik itu negative maupun positif. Penonton lantas meyakini dan melakukan seperti apa yang diajarkan mredia elektronik. Yang penting disini adalah masyarakat harus kritis membaca atau menonton apa yang disodorkan media! Caranya yaitu harus banyak baca dan mengumpulkan informasi dari bermacam-macam sumber.
Tentu rendahnya interaksi dengan mahasiswa lokal atau masyarakat Australia yang ‘mungkin’ menyebabkan keributan Minggu lalu dimana terjadi demonstrasi besar-besaran yg dilakukan oleh mahasiswa India yg berlangsung 2 hari, di tengah-tengan jantung kota Melbourne. Ada yg komentar, ‘Ya mau gimana lagi kalau gak gitu pemerintah Australia, gak mau dengar! Ini terjadi setelah satu mahasiswa India ditusuk dan luka parah sehingga masuk rumah sakit.
Yang perlu dipertanyakan apakah penusukan terhadap mahasiswa India bermotif rasis? Apakah hanya karena nasib buruk? Beberapa minggu sebelumnya juga ada orang Australia yg bernama Luke Mitchell yang mencoba menolong seorang yg dianiaya tapi kemudian dikeroyok beberapa orang, tapi untunglah kemudian perkaranya selesai dan Luke bersama beberapa temannya pergi dari tempat kejadian tapi tak lama kemudian kemudian dicegat oleh 2 orang berwajah Asia dan menusuknya 5 kali yang kemudian meninggal!(Herald 25/5/09) Tapi karena dia orangAustralia, bukan mahasiswa internasional, berita ini hanya berlalu begitu saja, tidak menimbulkan heboh yang berkelanjutan! Apa yang sebenarnya terjadi?
Salah seorang orang tua orang India mengatakan di surat kabar ‘The Age’, “It could happen anywhere in the world’, tapi krn kebetulan ini terjadi kepada mahasiswa asing maka diisukan ini adalah masalah rasial! Apakah ‘adil’ menghujat orang Australia keseluruhan sebagai rasis? ‘White Paper’ yg merupakan laporan resmi tentang rasisme di Australia berdasarkan penelitian justru menyebutkan sebaliknya, bahwa yang anti migran adalah orang migran sendiri bukan orang Australia dari keturunan Anglo Saxon tapi orang Australia dari keturunan non-Anglo! ‘Ironi dan tragis!’
Yang lebih mengherankan lagi dan sesuai dengan laporan Buku Putih – the White Paper kejadian baru-baru ini di Melbourne tentang mahasiswa India yang sampai masuk ke rumah sakit karena luka parah, si pelaku sendiri adalah orang India (The Australian 29/7/09), ‘ ………….My attacker looked like an Indian person and I was threatened in Hindi’.
Pada tgl 5 Juni kemarin, diadakan ‘Bilingual Forum Tanya-Jawab’ di konjen RI di Melbourne yang menurut penulis cukup menarik. Ada orang Australia yang mewakili mahasiswa lokal dan selebihnya mahasiswa Indonesia. Ada mahasiswa ‘undergraduate’ dan ‘post-graduate’ dari kedua gender. Kita tahu bahwa mahasiswa undergraduate tentu punya pengalaman yg berbeda dibandingkan dengan mahasiswa postgraduate, dan boleh dikatakan secara umum mahasiswa undergraduate lebih punya kesempatan yang lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa postgraduate karena pada umumnya mereka lebih muda, lebih banyak waktu (?) dan belum menikah. Sejarah membuktikan bahwa pada waktu pemerintah Indonesia dengan ‘program Habibie’ yang mengirimkan pelajar-pelajar tamat SMU ke luar negeri, dan memang boleh dikatakan mereka berinteraksi lebih banyak dengan mahasiswa lokal dan masyarakat Australia yang akhirnya banyak dari mereka yang menikah dengan orang Australia dan tidak pulang ke Indonesia! Pemerintah Indonesia ‘menganggap’ program ini gagal! Kemudian dikirim mahasiswa yang sudah menikah atau punya anak satu dua anak dan ternyata program ini ‘berhasil’ karena setelah mereka selesai studi mereka pulang ke tanah air!
Bisa diambil ‘kesimpulan sementara’ dari diskusi di konjen bahwa memang yang dialami oleh mahasiswa internasional dalam berinteraksi dengan mahasiswa lokal tidak mudah! Seperti yang dilaporkan dari ketiga laporan universitas tsb diatas kedua belah pihak bukannya tidak mau bergaul tapi kedua kelompok tidak tahu bagaimana caranya! Bahasa faktor yang penting sekali tapi ternyata bukan yang terpenting dan dominan! Karena ternyata faktor KEPRIBADIAN punya peranan yang lebih penting dan dominan! Dan mengherankan di dalam kedua laporan tsb tidak disebutkan sama sekali peranan KEPRIBADIAN!
Menarik karena di dalam diskusi di konjen sore itu tersentuh sedikit masalah rasisme. Salah seorang anggota panel berkata bahwa ‘the white men are so arrogant’. Anggota panel dari Australia menjawab bahwa orang Australia yg rasis hanya segelintir dan rasisme bisa ditemukan di mana-mana tidak hanya di Australia! Apa mungkin karena jumlah mahasiswa dari Indonesia tidak begitu banyak dibandingkan mahasiswa dari Cina atau India? Atau mungkin mahasiswa Indonesia lebih ramah dan lebih bisa bergaul? Atau memang karena mahasiswa Indonesia sendiri menyadari bahwa kalau sudah sampai ke masalah rasisme, orang Indonesia sendiri menyadari bahwa mereka sendiri sebenarnya juga rasis!
Pernyataan seperti; ‘Padang bengkok ‘lu!’ ‘Batak ‘lu!’ Jawa ‘lu’. ‘Hati-hati Batak! Kalau lagi sendiri main gitar. Berdua main catur! Kalau udah bertiga, tutup pintu karena mereka mau ngerampok! Eh, ada bule! Ini sebenarnya rasisme! Rasisme di dalam alam bawah sadar! Kita tidak sadar! Di dalam kamus disebutkan definisi rasis: Etnis dijadikan patokan dasar dalam menentukan kemampuan dan sifat seseorang atau kelompok. Cuma kita orang Indonesia tidak sadar bahwa kita sebenarnya juga rasis! Jadi sebaiknya jangan ikut-ikutan demonstrasi anti rasisme!
Menurut salah seorang mahasiswa Indonesia yg datang ke Australia pada waktu kelas 3 SMU, kemudian mendapatkan S1,S2 di Universitas Macquarie dan S3 di ANU, dan sekarang menjabat sebagai CEO di salah satu perusahaan Australia menyatakan bahwa kita tidak harus ‘minder’ karena bahasa Inggris yg belum sempurna. Yang penting ‘niat’ dan ‘penampilan’ karena dua faktor ini ternyata penting. Dilihat lebih teliti ‘niat’ dan ‘penampilan’ adalah faktor-faktor ‘kepribadian’. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) disebutkan bahwa ‘kepribadian’ adalah sifat hakiki yg tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yg membedakan dirinya dari orang atau bangsa lain. Dan ini susah diukur dan tidak heran dalam laporan Universitas Adelaide, Monash dan Melbourne, faktor kepribadian tidak disebutkan sama sekali! Dan yang lebih menarik adalah komentar Idris adalah ‘dare to be different’. Karena kita berbeda, orang akan tanya, ‘Anda dari mana?’ Dari kalimat tanya ini sebenarnya Anda bisa ‘buat jembatan’ untuk membuat satu persahabatan karena Anda bisa cerita banyak tenatng Indonesia! Di Indonesia Anda tidak akan ditanya karena Anda bagian dari mayoritas! Jadi betul bahwa sebenarnya di Australia akan ada banyak kemungkinan untuk punya teman lebih banyak karena faktor ‘dare to be different!’
Seperti kata salah seorang dosen orang Australia di salah satu universitas di Queensland, pernah tinggal di Jepang beberapa tahun serta beristrikan seorang wanita Jepang, jadi bisa melihat dari ‘kedua sisi,’ ‘…as a foreigner going overseas attempting to inter-relate with the local community understanding the nature and structure of ‘social relationship’ within that society is fundamental, and requires the the new comer to step outside their own social morays and operate within the local framework; ie, “ When in Rome do as the Romans do”.
Pengalaman yang dialami oleh mahasiswa Ph.D dari Universitas Melbourne, yang dikenal sebagai uztad di kalangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam, juga menyebutkan pengalamannya waktu di satu kota kecil di Australia waktu dia jalan dan meliwati satu rumah dan kebetulan yang punya rumah di depan rumahnya dan kemudian menegurnya dan mengajaknya mampir! Itu salah satu contoh bahwa karena kita ‘berbeda’ justru menguntungkan! Di sini mungkin faktor ‘kpribadian’ cukup dominan! Di mana niat yang baik yang tentunya tercermin dari raut muka yg bersahabat! Apalagi uztad tentu selalu tersenyum! 12 Lebih jauh dia menambahkan bahwa ‘faktor minum (alkohol)’ juga merupakan kendala untuk mahasiswa internasional terutama yang beragama Islam dalam berinteraksi dengan mahasiswa lokal. Dan memang orang Australia dikenal sebagai konsumsi bir terbesar di dunia setelah orang Jerman.
Menurut salah seorang mantan mahasiswa dari Program Colombo yang berdomisili lama di Australia, menambahkan bahwa ternyata agama menjadi kendala dalam interaksi dengan mahasiswa lokal tidak hanya terjadi sekarang tapi sudah lama. Situasi semakin ‘renggang’ terutama sejak ‘kebangkitan agama-agama - revival of religions’ pada awal tahun 70an, ‘………….saya perhatikan mahasiswa kita yg Muslim mulai segan bergaul dengan mahasiswa lokal karena menghindari minum dan BBQ daging tidak halal.’ Tapi ini sekarang sudah menjadi stereotip karena sudah banyak orang Australia yang tidak minum alcohol.
Diskusi di konjen tanggal 5 Juni 09 kemarin adalah ‘embryo’ dan semoga akan ada lagi diskusi seperti itu karena ternyata komentar dari para peserta cukup positif dan menggembirakan.
- Pak Konjen – Semalam berjalan bagus dan pesertanya juga aktif. Senang sekali bisa berjasama seperti ini.
- Saya berminat sekali dan tertarik dengan topiknya.Topik inilah yang harus didiskusikan. Saya akan mengundang teman Indonesia yg punya pengalaman yg sama.
- Selamat ya, acaranya sukses dan yang datang antusias juga.
- Ini tujuannya apa sih?
- People were lovely, food was very nice, setting was perfect.I hope my contribution was received well, I have no way of knowing, Indonesians are always polite, they won't tell you if you have been a goose.20It was nice to be in the Consulate again after all these years.
Kepada pihak Konsulat Jendral, penulis mengucapkan terima kasih, terutama kepada Bu Monamaria dan tentu kepada Pak Konjen Budiarman Bahar, walaupun kami ‘berseberangan jalan’ dalam melihat pentingnya interaksi mahasiswa internasional dan lokal, tapi masih memberikan lampu hijau dan menyediakan tempat dan makan malam yg enak sekali!. Kepada Pak Abelian yg ikut sebagai pelempar ide dari diskusi ini semoga cepat sembuh. Last but not least, terima kasih kepada PPIA Australia dan Victoria yg meramaikan acara ini! Sekali lagi terima kasih!
Anton Alimin
Mob: 0430038176
Email: aalimin@hotmail.com
No comments:
Post a Comment